Jumat, 28 Februari 2014

Makalah Ulumul Hadits tentang Hadits Shahih dan Hadits Hasan



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Hadits Shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah. SAW., atau sahabat, tabi’in, bukan hadits yang syadz, dan terkena ilat yang menyebabkan cacat penerimaannya.

Hadits hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang ”adil, kurang dhabthnya, serta tidak tidak ada syudzudz dan illat yang berat didalamnya.”





B.     Rumusan Masalah
1.      Aapakah hadits shahih itu?
2.      Apakah hadits hasan itu?
3.      Apa perbandingan antara hadits shahih dan hasan?
4.      Bagaimana keriteria hadits shahih dan hasan?
5.      Apasaja kitab hadits shahih dan hasan?




1


BAB II
PEMBAHASAN
A.    HADITS SHAHIH
            Sahih menurut bahasa berarti ضِدُّ السَّقِيْمِlawan dari sakit, haq lawan dari batil.[1] Menurut istilah ilmu hadits ialah : “satu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, disampaikan oleh orang-orang yang adil, memiliki kemampuan mengapal yang sempurna (dhabith). Serta tidak ada penyelisihan dengan perawi yang lebih terpercaya darinya (syad) dan tidak ada “illat yang berat”.
            Defenisi yang ringkas yang didefinisikan oleh Imam An-Nawawi sebagai berikut :[2]
مَااتَّصَلَ سَنَدُهُ بِالْعُدُوْلِ الضَّا بِطِيْنَ مِنْ غَيْرِ شُدُوْدٍ وَلَا عِلَّةٍ
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syadz, dan tidak berillat.”
            Pengertian hadits shahih baru jelas setelah ulama Al-Mutaakhirin mendefinisikan secara konkret, seperti :
أَمَّا اْلحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ فَهُوَ اْلحَدِيْثُ اْلمُسْنَدُ الَّذِيْ يَتَّصِلُ إِسْنَادُهُ بِنَقْدِلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنِ اْلعَدْلِ الضَّابِطِ إلِىَ مُنْتَهَاهُ وَلَا يَكُوْنُ شَاذًا ولاَا مُعَلَّلًا.
“Adapun hadits shahih ialah hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada nabi, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan berillat.”
Para ulama telah memberikan defenisi hadits shahih yang telah diakui dan disepakati dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadits shahih mempunyai 5 kriteria, yaitu :
1.      Sanadnya bersambung [3]
Yang dimaksud sanadnya bersambung yaitu bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya keadaan itu berlangsung seperti itu sampai akhir sanad dari hadits itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rangkaian para perawi hadts shahih sejak perawi terakhir sampai kepada para sahabat yang menerima hadits langsung dari Nabi Muhammad SAW. Bersambung dalam periwayatannya.
2.      Perawinya adil
Kata adil menurut bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak dzalim, tidak meyimpan, tulus, dan jujur. Seseorang dikatakan adil apabila pada dirinya terdapat sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketakwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah agama dan meninggalkan larangannya, dan terjaganya sifat muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah lakunya. Maka yang dimaksud dengan perawi yang adil dalam periwayatan sand hadits adalah bahwa semua perawinya disamping harus islam dan balig, juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.       Senantiasa melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan semua larangannya.
b.      Senantiasa menjauhi dosa-dosa kecil.
c.       Senantiasa memeliharaucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah.

3.      Para perawi bersifat dhabith (dhabith ar-ruwah)
            Maksudnya para perawi itu memiliki daya ingat hapalan yang kuat dan sempurna. Daya ingat dan hapalan kuat sangat diperlukan dalam rangka menjaga otentitas hadits, mengingat tidak seluruh hadits tercatat pada masa awal perkembangan islam. Sifat dhabith ini ada dua macam :
a.       Dhabith dalam dada (adh-dhabth fi as-shudur), artinya memiliki daya ingat dan hapal yang kuat sejak ia menerima hadits dari seorang syaikh atau seorang gurunya sampai dengan pada saat menyampaikannya kepada orang lain atau ia memiliki kemampuan untuk menyampaikannya kapan saja diperlukan kepada orang lain.
b.      Dhabith dalam tulisan (adh-dhabth fi suthur), artinya tulisan haditsnya sejak mendengar dari gurunya terpelihara dari perubahan, pergantian, dan kekurangan. Singkatnya tidak terjadi kesalahan-kesalahan tulis kemudian diubah dan diganti. Karena hal demikian akan mengundang keraguan atas ke-dhabith-an seseorang.

4.      Tidak syadz (janggal)
            Tidak terjadi kejanggalan (syadzdz), syadz dalam bahasa berarti ganjil, terasing, atau menyalahi aturan. ­maksud syadzdz disini adalah periwayatan orang yang lebih tsiqah (terpercaya yakni adil dan dhabith) bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah.
5.      Tidak berillat (ghair mu’allal)
            Tidak terjadinya “illat”, dalam bahasa arti “illat” yaitu penyakit, sebab, alasan atau udzur. Sedangkan arti “illat” disini adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat keabsahan suatu hadits padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut.
            Menurut istilah, illat berarti suatu sebab yang tersenbunyi atau samar-samar, sehingga dapat merusak keshahihan hadits. Dikatakan samar-samar karena jika dilihat dari segi zhahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Karena kesamaran pada hadits tersebut mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih.
Contoh hadits shahih :[4]
مَا أَخْرُجَهُ البخارى قال حدّثنا مسدد حدثنا معتمر قال : سمعت أبي قال : سمعت أنس بن مالك رضي الله عنه قال : كان النبي صلى الله عليه وسلم يقول : اللهم إني أعوذ بك من العجز والكسل, والجبن والهرم, أعوذ بك من فتنة المحيا والممات, وأعوذ بك من عذاب القبر.
Artinya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Al-bukhari, ia berkata memberitakan kepada kami musaddad. Memberitakan kepada kami mu’tamir ia berkata, : aku mendengar ayahku berkata : aku mendengar anas bin Malik berkata : Nabi Muhammad SAW berdoa :“Ya Allah sesungguhnya mohon perlindungan kepada Engkau dari sifat lemah, lelah, penakut, dan pikun. Aku mohon perlindungan kepada Engkau dari fitnah hidup dan menegaskan dengan dan aku mohon perlidungan kepada Engkau dari adzab kubur.”
            Hadits di atas dinilai berkualitas shahih karena telah memenuhi beberapa lima kriteria, yaitu sebagai berikut :
a.       Sanadnya harus bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir. Contoh : Anas seorang sahabat yang mendengar hadits ini dari nabi langsung. Sulaiman bin Tarkhan bapaknya Mu’tamir menegaskan dengan kata as-sama’ (mendengar) dari anas. Demikian juga Mu’tamir menegaskan dengan as-sama’ dari ayahnya. Musaddad syaikhnya Al-bukhari juga menegaskan dengan kata as-sama’ dari Mu’tamir, sedangkan Al-Bukhari menegaskan dengan as-sama’ dari syaikhnya. 
b.      Semua para perawi dalam sanad hadits diatas menurut ulama al-jarh wa at-ta’dil telah memenuhi persyaratan adil dan dhabith.
c.       Hadits diatas tidak syadz (janggal), karena tidak bertentangan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah.
d.      Tidak terdapat illat (ghayr mu’allal).
e.       Para perawi dalam sanadnya harus bersifat zabit
.
B.   MACAM-MACAM HADITS SHAHIH
            Macam-macam hadits shahih ada dua macam, yaitu :[5]
a.       Shahih lidzatih (shahih dengan sendirinya), karena telah memenuhi 5 kriteria hadits shahih sebagaimana defenisi, contoh, dan keterangan diatas. Yang dimaksud hadits lidzatih ialah hadits yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan shahih khususnya yang berkaitan dengan ingatan atau hapalan perawi.
b.      Shahih lighayrih (shahih karena yang lain), yaitu :
هُوَ اْلحَسَنُ لِذَاتِهِ إِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقٍ آخَرَ مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَى مِنْهُ
Artinya :
Hadits shahih lighayrih adalah hadits hasan lidzatihi ketika ada periwayatan melalui jalan lain yang sama atau lebih kuat dari padanya.
            Yaitu ingatan perawinya kurang sempurna (qalil ad-dhabt). Maka biasa dikatakan bahwa sebenarnya hadits shahih asalnya bukan hadits shahih melainkan hadits hasan lidzatih. Karena adanya syahid atau mutabi’ yang menguatkannya.
            Contoh hadits shahih lighayrih adalah hadits riwayat Turmudzi melalui jalur Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW. Bersabda :
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَ ةٍ
            seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya akan ku perintahkan bersiwak setiapkali hendak melaksanakan shalat.”
C.  Kehujjahan Hadits Shahih
            Kehujjahan hadits shahih yaitu hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujjah atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama hadits dan sebagian ulama ushul dan fikih yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan akidah.
            Ada beberapa pendapat ulama yang memperkuat kehujahan hadits shahih, diantaranya sebagai berikut :[6]
a.       Hadits shahih memberi faedah qhath’i (pasti kebenarannya) yang terdapat didalam kitab shahihayn (Al-Bukhari dan Muslim).
b.      Wajib menerima hadits shahih sekalipun tidak ada seorangpun yang mengamalkannya, pendapat Al-Qasimi dalam qhawa’id at-tahdits.
            Istilah-istilah yang digunakan dalam hadits shahih yang biasa digunakan oleh ulama hadits dalam menunjuk hadits itu shahih, misalnya :
A.    Haadza haditsun shahihun
B.     Haadza haditsun ghairu shahihun
C.     Haadza haditsun shahihul isnaadiy
D.    Ashaahul asaaniidz
E.     Haadza ashaahu syay’in fil baabi
F.      ‘alaa syarti asy-syaihaini
G.    Muttafaqun ‘alaihi
            Berdasarkan martabatnya, ulama muhaddisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga, yaitu :
1.      Ashah Al-Asanid, yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. Periwayatan sanad yang paling shahih adalah dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
2.      Ahsanul Al-Asanid, yaitu rangkain sanad yang tingkatannya dibawah tingkatan pertama seperti Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
3.      Adhful Al-Asanid, yaitu rangkaian sanad yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua seperti Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya Abu Hurairah.

            Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi 7 tingkatan, dari tingakat yang tertinggi sampai dengan tingkat yang terendah, yaitu sebagai berikut :
a.       Muttafaqun Alaih, yakni disepakati keshahihannya oleh Al-Bukhari dan Muslim, atau akhrajahu/rawahu Al-Bukhari wa Muslim (diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim) atau akhrajahu/rawahu asy-syaikhan (diriwayatkan oleh dua orang guru saja).
b.      Diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja.
c.       Diriwayatkan oleh Muslim saja.
d.      Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari dan Muslim.
e.       Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja.
f.       Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja.
g.      Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-bukhari dan Muslim dan tidak menuruti persyaratan keduanya, seperti Ibnu khuzaimah, Ibnu Hibban dan lain-lain.
D.    Kitab-kitab hadits shahih :
a.       Shahih Al-Bukhari
b.      Shahih Muslim
c.       Shahih Ibnu Khuzaimah
d.      Shahih Ibnu Hibban
e.       Mustadrak Al-hakim
f.       Shahih Ibnu As-sakan
g.      Shahih Al-Albani 
E.     HADITS HASAN
            Hasan menurut bahasa artinya baik dan bagus bisa juga dibilang keindahan. Menurut istilah yaitu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang ”adil, kurang dhabthnya, serta tidak tidak ada syudzudz dan illat yang berat didalamnya.”[7]
            Perbedaan antara hadits hasan dengan shahih terletak pada dhabith yang sempurna untuk hadits shahih dan dhabith yang kurang untuk hadits hasan.
            Menurut At-Turmidzi mendefenisikan hadits hasan sebagai berikut :[8]
كُلُّ حَدِيْثٍ يُرْوَى لَايَكُوْنَ فِيْ اِسْنَادِهِ مَنْ يُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ وَلَا يَكُوْنُ اْلحَدِيْثِ شَاذًا وَيُرْوَى مِنْ غَيْرِ وَجْهِ نَحْوِ ذَلِكَ.
            “Tiap-tiap hadits yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada pqda matannya tidak terdapat kejanggalan, dan hadits itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan dengannya.”
            Definisi hadits hasan menurut At-Turmudzi ini terlihat karang jelas sebab bisa jadi hadits yang perawinya tidak tertuduh dusta dan matannya tidak terdapat kejanggalan disebut hadits shahih. Dengan demikian, melalui definisi ini At-Turmudzi tidak bermaksud menyamakan hadits hasan dengan hadits shahih, sebab justru At-Turmudzi lah yang mula-mula memunculkan istilah hadits hasan ini.
            Sebagian ulama lain menyebutkan bahwa hadits hasan sama dengan hadits dhaif yang dapat dijadikan hujjah. Penyebutan seperti ini karena mereka membagi hadits hanya menjadi dua, yaitu hadits shahih dan hadits dhaif yang tidak dapat dijadikan  hujjah. Hadits dhaif yang dijadikan hujjah inilah yang o;eh At-Turmudzi diistilahkan hadits hasan.
            Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih, hanya saja terdapat perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada hadits shahih, ingatan atau daya hapalannya harus sempurna, sedangkan pada hadits hasan, ingatan atau daya hapalannya kurang sempurna, dengan kata lain bahwa syarat-syarat hadits hasan dapat dirinci sebagai berikut :
a.       Sanadnya bersambung.
b.      Perwawinya adil.
c.       Perawinya dhabith, tetapi ke-dhabit-annya dibawah ke-dhabit-an perawi hadits hasan.
d.      Tidak dapat kejanggalan (syadz).
e.       Tidak ada cacat (illat).
            Para ulama ahli hadits membagi hadits hasan menjadi dua bagian, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighayrih :
1.      Hadits hasan lidzatih yaitu hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits hasan diatas.
2.      Hadits hasan lighayrih yaitu hadits hasan yang tidak memenuhi persyaratan hadits hasan secara sempurna atau pada dasarnya hadits tersebut adalah hadits dhaif, tetapi karena ada sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau mutabi), maka jedudukan hadits dhaif tersebut naik derajatnya menjadi hasan lighayrih.
            Ibn Ash-Shalah, sebagaimana dikutip oleh Al-Qasimi menyebutkan bahwa hadits hasan lighayrih ialah hadits yang sandaran atau sanadnya terdapat orang yang mastur (yang belum jelas terbukti keahliannya), bukan pelupa yang banyak kesalahannya, tidak terlihat adanya sebab-sebab yang menjadikan fasiq, dan matan haditsnya diketahui baik berdasarkan periwayatannya hadits lain yang semakna.
F.     Kriteria Hadits Hasan
            Menurut Imam Turmudzi bahwa kriteria-kriteria hadits hasan sebagai berikut :
وَمَا قُلْنَا فِي كِتَابِنَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ فَإِنَّمَا اَرَدْنَا بِهِ حَسُنَ اِسْنَادُهُ عِنْدَنَا كُلُّ حَدِيْثٍ يُرْوَى لَايَكُوْنُ فِي اِسْنَادِهِ مَنْ يُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ وَلَا يَكُوْنُ اْلحَدِيْثُ شَاذًا وَيُرْوَى مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ نَحْوِ ذَلِكَ فَهُوَ عِنْدَ نَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
“hadits yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yang sanadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad yang yang didalamnya tidak terdapat tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya tidak janggal, diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian menurut kami adalah hadits hasan.[9]
            Dengan demikian, kriteria hadits hasan yang merupakan factor-faktor pembeda antara hadits hasan dan jenus hadits lainnyaadalah berikut ini :
            Pertama, pada sanadnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta. Kriteria ini mengecualikan hadits seorang rawi yang dituduh berdusta, dan mencakup hadits yang sebagian rawinya memiliki ddaya hapal rendah tidak dijelaskan jarh maupun takdilnya, atau  diperselisihkan jarh dan takdilnya namun tidak dapat ditentukan, atau rawi mudallis yang meriwayatkan hadits dengan an-anah (periwayatan dengan menggunakan banyak lafal ‘an). Karena sifat-sifat yang demikian itu tidak bisa membuatnya dituduh dusta.
            Kedua, hadits tersebut tidak janggal. Orang yang peka dan waspada akan mengetahui bahwa yang dimaksud dengan syadz (janggal) menurut At-Turmudzi adalah hadits tersebut berbeda denganpara rawi yang tsiqah. Jadi, diisyaratkan hadits hasan harus selamat dari pertentangan, karena bila bertentangan dengan riwayat para rawi yang tsiqah, maka ia ditolak.
            Ketiga, hadits tersebut diriwayatkan pula melalui jalan lain yang sederajat. Hadits hasan itu harus diriwayatkan pula melalui jalan lain satu atau lebih, dengan catatan sederajat dengannya atau lebih kuat dan bukan berada dibawahnya, agar dengannya dapat diunggulkan salah satu dari dua kemungkinan sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Sakhawi, akan tetapi tidak diisyaratkan harus diriwayatkan dalam sanad yang lain dengan redaksi yang sama, melainkan dapat diriwayatkan hanya maknanya dalam satu segi atau segi-segi lainnya.
Imam Ahmad berkata, “Yahya bin Said meriwayatkan hadits kepadaku, bapakku dari kakakku, katanya, “Aku bertanya :
يَارَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أمك قال : قلت : ثم من ؟ قال : ثم أمك , قال : قلت : ثم من ؟ قال : أمك, ثم اباك ثم الْاَقْرَبَ فَاْلاَقْرَبَ.
Ya Rasulullah kepada siapakah aku harus berbakti?”Rasulullah menjawab “kepada ibumu”. Aku bertanya “lalu kepada siapa ?” Rasulullah menjawab.” Ibumu, kemudian bapakmu, kemudian kerabat terdekat, dan selanjutnya.”
            Sanad hadits ini bersambung, tak ada kejanggalan dan tidak ada cacat padanya, karena baik dalam rangkaian sanadnya maupun dalam matannya tidak terdapat perbedaan diantara riwayat-riwayatnya.
G.    Macam-macam Hadits Hasan
            Sebagaimana hadits shahih terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighayrih. [10]
a.       Hasan lidzatih
            Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan persyaratan yang telah ditentukan. Hadits hasan lidzatih sebagaimana definisi dan penjelasannya diatas.
b.      Hadits hasan lighayrih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :
هُوَ اْلحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ اِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقٍ أٌخْرَى مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَى مِنْهُ
            Hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.
هُوَ الضَّعِيْفُ إِذَا تَعَدَّدَتْ طُرْكُهُ وَلَمْ يَكُنْ سَبَبُ ضَعْفِهِ فِسْقَ الرَّاوِى أَوْ كِذْبَهُ
 “Hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab ke-dha’if-an bukan karena fasik atau dustanya perawi.”
            Dari dua definisi diatas dapat difahami bahwa hadits dhaif bisa naik menjadi hasan lighayrih dengan dua syarat, yaitu :
1.      Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2.      Sebab ke-dhaif-an hadits tidak berat seprti dusta dan fasik, tetapi ringan seprti hapalan yang kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.
Contoh riwayat Ibnu Majjah dari Al-Hakam bin Abdul Malik dari Qatadah dari Sa’id bin Al-Musayyab dari Aisyah, Nabi bersabda :
لَعَنَ اللهُ الْعَقْرَبَ لَا تَدَعْ مُصَلِّيًا وَلَاغَيْرَهُ فَاقْتُلُوْهَا فِي اْلحِلِّ وَاْلحَرَمِ
 “Allah melaknat kalajengking janganlah engkau membiarkannya baik keadaan shalat atau yang lain, maka bunuhlah ia ditanah halal atau ditanah haram.
            Hadits diatas dhaif karena Al-Hakam bin Abdul Malik seorang dhaif, tetapa dalam sanad lain riwayat Ibnu  Khuzaimah terdapat sanad lain yang berbeda perawi dikalangan tabi’in (mu’tabi) melalui syu’bah dari Qatadah, maka ia naik derajatnya menjadi hasan lighayrih.
H.    Kehujjahan Hasan
            Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua fuqaha, sebagian Muhadditsin dan ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukannya kedalam ahadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
I.       Istilah-istilah yang digunakan dalam Hadits Hasan
a.       Di antara gelar ta’dil para perawi yang digunakan dalam hadits maqbul atau hasan sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Jah wa At-Ta’dil adalah :
-          Al-Ma’ruf  (orang yang dikenal/orang baik).
-          Al-Mahfuz (terpelihara).
-          Al-Mujawwad (orang baik).
-          As-Tsabith (orang yang teguh/kuat).
-          Al-Qawiyy (orang kuat)
-          Al-Musyabbah (serupa dengan shahih)
-          As-Shalih/Az-zayid (orang baik dan bagus)

b.      Perkataan mereka muhadditsin yaitu “haadza haditsun hasanul isnaadi” ini hadits hasan sanadnya. Maknanya hadits ini hanya hasan sanadnya saja sedang matannya perlu penelitian lebih lanjut.
c.       Ungkapan At-turmudzi yaitu “hadisun hasanun shahihun” ini hadits hasan shahih.

J.      Kedudukan Hadits Hasan
Tingkatan hadits hasan berada dibawah tingkatan hadits shahih, tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kedudukannya sebagai sumber ajaran islam atau sebagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang  akidah.
K.    Kitab-kitab yang mengandung Hadits Hasan
Hadits hasan banyak kita dapatkan pada sebagian kitab, diantaranya :[11]
-          Kitab jami’ At-Turmudzi
-          Sunan Abu Daud
-          Sunan Daruqhuti



KESIMPULAN

            Hadits ditinjau dari segi kualitas rawi yang meriwayatkannya, yaitu terbagi dalam tiga macam, yaitu shahih, hasan, dhaif.
            Hadits shahih ialah hadits yang sempurna dari sanad dan matannya, dinukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal.
            Hadits hasan ialah khobar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz.












DAFTAR PUSTAKA
Sholahudin, M. Agus. Dkk, Ulumul Hadits. Bandung, Pustaka Setia. 2008
Manna Syaikh,. Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar. 2004
Ahmad, H. Muhammad. Dkk,Ulumul Hadits.
Mudasir, Ilmu hadits, Pustaka Setia : Bandung 1999
Khon,H. Abdul Majid,. Ulumul Hadits, Jakarta,Amzah. 2010



[1] .M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Sejarah dan pengantar ilmu hadits, Jakarta: Bulan Bintang. 1987. Hlm. 192.
[2] Drs. H.Mudasir. Ilmu Hadis. Pustaka Setia Bandung, Hlm. 145
[3] Drs. H. Mudasir, op. cit., hlm 145.
[4] Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Ulumul Hadits. Amzah : Jakarta hlm 154
[5] Ibid., hlm 154
[6] Ibid., hlm 155
[7] Syaiykh Manna’ Al-Qathtan, Studi Ilmu Hadits. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. Hlm 121
[8]Drs. H. Mudasir. Op. cit., hlm 152
[9] Drs. H. Muhammad Ahmad,dkk. Ulumul Hadits. Pustaka Setia : Jakarta hlm 113
[10] Drs. H. Muhammad Ahmad,dkk. Op. cit., hlm 115
[11] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. Ulumul Hadis. Pustaka Setia: Jakarta Hlm 147



0 komentar:

 
;