Senin, 24 Februari 2014

Makalah Hadits tentang durhaka kepada orang tua




BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang.
Islam telah mensyariatkan bahwa orang tua memiliki porsi tertinggi untuk diberikan pelayanan oleh seorang anak. Oleh karena itu, membuat kedua orang tua menangis adalah salah satu larangan yang harus dijauhi.
Defenisi durhaka adalah menyakiti (mengganggu) kedua orangtua dengan jenis gangguan apa saja, baik tingkatan gangguan tersebut rendah atau tinggi, mereka melarang gangguan itu atau tidak, atau sang anak menyelisihi perintah mereka berdua atau larangan mereka berdua dengan syarat (perintah atau larangan mereka) bukanlah kemaksiatan.
Durhaka kepada orang tua memiliki dampak dan akibat yang luar bisa dalam kehidupan di dunia, saat sakratul maut, di alam Barzakh, dan di akhirat.
Ibu bapak merupakan sebab lahirnya kita di dunia ini. Oleh karena itu, perhatikanlah bahwa Allah telah menunjukkan besarnya hak orang tua dengan menggandengkan antara perintah untuk berbuat baik kepada keduanya dengan perintah untuk bertauhid kepada-Nya, sebagaimana dalam potongan surat Luqman, ayat 14 berikut ini, yang artinya. “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu.” Dengan demikian, melakukan kedurhakaan kepada orang tua merupakan perbuatan keji dan termasuk dosa besar yang diancam dengan siksa neraka.

B.            Rumusan masalah
1.        Apakah yang dimaksud durhaka kepada orang tua?
2.        Apakah termasuk menyakiti kedua orang tua orang lain menyakiti orang tua sendiri?
3.        Apa bentuk-bentuk durhaka terhadap orang tua?



BAB II
PEMBAHASAN
A.           Durhaka terhadap Orang Tua
Orang yang durhaka kepada orang tuanya berarti telah melakukan dan ia akan mendapat hukuman berat di hari kiamat nanti. Bahkan, ketika hidup di dunia pun, ia akan mendapat azab-Nya.
Allah SWT mewajibkan setiap anak untuk berbakti kepada ibu bapaknya. Bagaimanapun keberadaan seseorang di muka bumi tidak terlepas dari peran ibu dan bapaknya. Ibunya yang telah mengandung dan bapaknya yang telah bersusah payah mencari rezeji, tanpa mengenal lelah untuk membiayai anaknya. Allah SWT. berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَي وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْلِيْ وَلِوَالِدَيْكَ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ.

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada orang dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu baopakmu, hanya kepada-Kulah kamu semuanya kembali.” (Q.S. Luqman: 14)
Setiap anak tidak boleh menyakiti kedua ibu bapaknya, baik dengan perkataan maupun perbuatan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan, dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa seorang anak tidak boleh mengatakan “ah”[1], sebagaimana firman-Nya.

وَقَضَي رُبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوْا اِلَّا اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْ هُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا.وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيْرًا.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah kepada selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya, jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan “ah” (“his”, ”cis”, “uf” dan semacamnya yang sifatnya menghina). Dan janganlah kamu membentak mereka, (akan tetapi) ucapkanlah kepada mereka ucapan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka sebagimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. (Q.S. Al-Isra: 23-34)
Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menerangkan keharusan berbuat baik terhadap orang tua. Menurut ibn Abbas, dalam Al-Qur’an ada tiga hal yang selalu dikaitkan penyebutannya dengan tiga hal lainnya, sehingga tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan lainnya, yaitu:[2]
a.    أطيعوا الله وأطيع الرسول. (النساء: 59)
b.    وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة. (الساء: 77)
c.    أن اشكُرْلي ولوالديك. (لقمان: 14)
Dari Abu Hurairah r.a mengatakan: Rasulullah SAW. bersabda:
أربعةُ نَفَرٍ حَقٌّ علي اللهِ أن لا يُدخِلَهم الجَنَّةَ, ولا يُذيقَهم نَعيمَها: مُدمِنُ خَمْرٍ, وآكِلُ الرِّبَا, وآكلُ مالِ اليتيمِ ظُلْمًا, وَالْعاقُّ لِوالدَيْهِ, اِلَّا أن يَتُوْبُوْا.
“Empat golongan manusia yang benar-benar Allah tidak akan memasukkan mereka ke dalam surge dan tidak akan dapat merasakan kenikmatannya, yaitu:
1.      Orang yang membiasakan diri minum-minuman keras (khamar).
2.      Orang yang makan harta riba.
3.      Orang yang makan harta anak yatim dengan cara yang kejam.
4.      Orang yang durhaka kepada orang tuanya, kecuali kalau mereka itu bertobat.”
(Riwayat Hakim –dengan sanad dha’if/lemah).
Hal itu menandakan bahwa peran dan kedudukan orang tua sangat tinggi di hadapan Allah SWT. sehingga Rasulullah SAW. bersabda:
رضي الله في رضي الوالدين وسخط الله في سخط الوالدين. (رواه الترمذي والحاكم بشرط المسلم).
Keridaan Allah itu terletak pada keridaan kedua ibu-bapaknya dan kemurkaan Allah terlatak pada kemurkaan kedua ibu-bapak pula.”
Allah SWT. sangat murka terhadap orang-orang yang menyakiti orang tuanya sendiri dan mengharamkannya untuk masuk surga meskipun ia sangat rajin beribadah. Sebagaimana kisah seorang sahabat yang mengalami kesulitan untuk meninggal dunia karena ibunya murka kepadanya dan setelah ibunya memaafkan dosa anaknya –setelah Rasulullah SAW. berkata kepadanya bahwa anaknya akan dibakar –sahabat tersebut meninggal dengan mudah.
Lebih jauh dalam hadis dinyatakan bahwa terhadap yang menyakiti orang tuanya sendiri, oleh Allah tidak akan mengakhirkan untuk menyiksanya.
Rasulullah SAW. bersabda:

كُلُّ الذُّنُوبِ يُؤَخِّرُ اللهُ مِنْهَا ما شاء الي يوم القيامة اِلَّا عُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ لِيَجْعَلَ له العذابُ واِنَّ اللهَ لَيَزِيْدُ في عُمْرِ الْعَبْدِ اِذَا كان بَارًّا لِوَالِدَيْهِ لِيَزِيْدَهُ بِرًّا وَخيرًا وَمِنْ بِرِّهِما أن يُنْفِقَ عليهِما اِذا احْتَاجَا. (رواه ابن ماجه)

“Semua dosa itu azabnya ditunda oleh Allah SWT. sampai hari kiamat, kecuali orang yang durhaka kepada orang tuanya. Sesungguhnya Allah akan mempercepat azab kepadanya; dan Allah akan menambah umur seorang hamba jika ia berbuat baik kepada ibu bapaknya, bahkan Allah akan menambah kebaikan kepada siapa saja yang berbuat baik kepada ibu bapaknya serta memberi nafkah kepada mereka, jika diperlukan.” (H.R. Ibnu Majah)
Termasuk menyakiti orang tua sendiri adalah menyakiti ibu bapak orang lain karena anak dari orang tua yang disakitinya akan membalasnya. Dengan demikian, hal ini sama saja dengan menyakiti orang tuanya sendiri.
Setiap anak harus selalu ingat bahwa pengorbanan kedua orang tuanya sangatlah besar, bahkan tidak mungkin dapat dibalas dengan harta sebesar apapun. Alangkah kejam dan tidak berakalnya orang yang berani menyakiti hati kedua orang tuanya sendiri.
Tidak heran, jika Allah SWT, memberikan keistimewaan kepada setiap orang tua, terutama seorang ibu yang disakiti oleh anaknya sendiri dengan mengabulkan doanya. Dengan demikian, jika orang tuanya mendoakan agar anaknya celaka, sang anak dipastikan akan celaka. Hal itu dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Turmudzi:

عَنْ أَبِيْ هُريرةَ رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَي وَلَدِهِ. (رواه الترمذي)

“Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Ada tiga doa yang mustajab dan tidak diragukan lagi, yaitu doa orang teraniaya, doa orang bepergian, dan doa kedua orang tua kepada anaknya.” (H.R. Turmudzi)

B.            Menyakiti Hati Orang Tua
Menyakiti kedua orang tua artinya menentang apa yang diperintahkan oleh keduanya dengan syarat bukan perintah berbuat maksiat kepada Allah atau melakukan suatu perbuatan yang tidak mendapatkan suatu perbuatan yang tidak mendapat restu keduanya.
Perbuatan ini termasuk dosa besar. Dan dalam hal ini Rasulullah memperingatkan kepada kita agar tidak menyakiti kedua orang tua:

اَلَا اُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثلاثًا, قُلْنَا : بَلَي يارسولَ اللهِ قَال : الإِشْرَاكُ بِاللهِ وعُقوقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ : اِلَّا وَقَوْلَ الزُّوْرِ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّي قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ. رواه البخاري ومسلم.

“Apakah kalian mau kuberitakan tentang tiga macam dosa besar?” Para sahabat menjawab: “Betul wahai Rasulullah, kami mau mendengarnya.” Rasulullah saw. bersabda: “Menyekutukan Allah, dan menyakiti kedua orang tua.” Ketika itu melanjutkan pembicaraannya: “Ingatlah (jangan kau lakukan) perkataan bohong dan kesaksian palsu.” Beliau mengulangi perkataannya itu sehingga kami mengharapkan beliau menghentikan sabdanya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Maka perhatikanlah hubungan antara berbuat jelek kepada orang tua dengan orang yang berbuat syirik kepada Allah (yaitu sama-sama dosa besar).
لا يدخل الجنة عاقٌّ, وَلَا مَنَّانٌ, وَلَا مُدْمِنُ خَمْرٍ.
“Tidak akan memasuki surge orang yang durhaka kepada orang tuanya, yang menunjuk-nunjukkan pemberiannnya dan orang yang kecanduan minuman keras.” (H.R. Bukhari Muslim).
لَعَنَ اللهُ الْعَاقَّ لِوَالِدَيْهِ.
“Allah mengutuk orang yang durhaka kepada orang tuanya. (Riwayat Thabrani –sebagai hadits dha’if).
Termasuk dalam kategori menyakiti kedua orang tua ialah memukul atau menempeleng kedua orang tua, melontarkan kata-kata makian, atau menambah beban yang keduanya tidak mampu memikulnya, seperti minta uang secara terus-menerus, pada hal keduanya tidak mampu memenuhinya. Apalagi andaikata permintaan itu dilakukan secara paksa atau tidak peduli dengan keadaan orang tua.
Di samping itu, membiarkan kedua orang tua dan tak bersedia menanggung biaya penghidupannya, sedang seseorang mengerti bahwa kedua orag tuanya dalam keadaan tidak mampu sedang keadaan dirinya mampu menolong, juga termasuk di dalam dosa tersebut.
Mengasingkan kedua orang tua juga termasuk dosa besar. Membiarkan orang tua berada jauh dan tidak pernah mau berziarah. Kadang-kadang kejadian ini bisa terjadi ketika anak mempunyai kedudukan tinggi disbanding orang tuanya.
Memaki orang tua juga termasuk dosa terhadap orang tua. Dalam hal ini Rasulullah melarang keras sikap tersebut:

مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيْلَ يارسولَ اللهِ وكيفَ يلعن الرجل والديه ؟ قال : يَسُبُّ اَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ الرَّجُلُ اَبَاهُ.
“Termasuk di antara dosa-dosa yang paling besar ialah seseorang melaknati kedua orang tuanya.” Seseorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang melaknati kedua orang tuanya?” Rasulullah menjawab: “Seseorang memaki orang tuanya orang lain, kemudian orang tersebut balik memaki kedua orang tuanya.”[3]
Apabila seseorang memaki kedua orang tua temannya, berarti secara tidak langung telah memaki kepada kedua orang tuanya sendiri. Pengertian menyakiti pada kasus ini ialah meremehkan kehoramatan kedua orang tua, dan menjadikan namanya sebagai sasaran penghinaan. Padahal kedua orang tua tersebut telah membesarkan sejak kecil hingga dewasa, yang merupakan jasa tak ternilai harganya.[4] Siapa saja yang taat kepada Allah tetapi tidak taat kepada orang tua, maka Allah tidak akan menerima amalnya.
Di dalam wasiatnya, Rasulullah menerangkan keutamaan berbakti kepada kedua orang tua melalui sabdanya:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَمُدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَيُزَادَ فِي رِزْقِهِ فَلْيُبِرَّ وَالِدَيْهِ.
“Barang siapa yang umurnya ingin diperpanjang dan rizkinya bertambah banyak, maka hendaknya ia berbakti kepada dua orang tuanya dan menyambung persaudaraannya.[5]

Abdulah bin Mas’ud mengatakan dalam salah satu riwayatnya:
سألتُ رسولَ اللهِ. أيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ اِلَي اللهِ ؟ قال : الصَّلاةُ لِوَقْتِهَا. قُلْتُ ثُمَّ أيٌّ ؟ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ, قلتُ ثُمَّ أيٌّ ؟ قال : الجهادُ في سبيلِ اللهِ.
“Saya bertanya kepada Rasulullah saw.: “Amal apakah yang paling disenangi oleh Allah swt.?” Rasulullah menjawab: “Melakukan shalat pada waktunya.” Kemudian saya bertanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Rasul menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi: “Kemudian apa lagi?”: maka Rasul menjawab: ”Berjuang di jalan Allah.”[6]
Islam juga mengistimewakan seorang ibu lebih dari seorang ayah di dalam hak menerima keabktian dari anaknya. Sebab sang ibu lebih banyak berkorban dibanding sang ayah. Kasih sayang ibu lebih banyak, jerih payahnya lebih berat, seprti mengandung, melahirkan, menyusui, menjaga bayi, mencuci kotorannya dan lain sebagainya. Pendeknya, jerih payah ibu lebih banyak dibanding sang ayah.
Al-Qur’an telah memberikan isyarat mengenai pengalaman ibu:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُوْنَ شَهْرًا....
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik keapda dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandung dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai menyepihnya  adalah tiga puluh bulan.” (Q.S Al-Ahqaf : 15)
Terdapat sebuah hadits mengenai jerih payah ibu:
أَنَّ رَجُلًا جَآءَ اِلَي النَّبِيِّ فقال: يا رسولَ الله. مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ؟ قال أُمُّكَ. ثم مَنْ؟ قال أُمُّكَ قال ثم مَنْ؟ قال أُمُّكَ قال ثم مَن؟ قال ثُمَّ أَبُوْكَ.
“Seseorang datang kepada Rasulullah saw. bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak untuk saya berbuat baik?” Rasulullah menjawab: “Ibumu.” “kemudian siapa lagi?” Rasulullah menjawab: “Ibumu.” “kemudian siapa lagi?” Rasul menjawab “Ibumu.” “ kemudian siapa lagi?” Jawab Rasul: “Bapakmu.” (H.R Bukhari dan Muslim)
Di dalam hadis tersebut Rasulullah mengulangi jawaban dengan kata-kata “ibumu” sebanyak tiga kali. Hal ini merupakan isyarat bahwa sang ibu berhak mendapatkan perhatian yang lebih banyak ketimbang sang ayah.
Rasulullah juga mengamanatkan pesan mengenai hak anak kepada ayahnya, yang ketika itu Rasul kedatangan seseorang mengadukan suatu masalah yang bersangkutan dengan ayahnya sendiri. Orang tersebut bertanya: “Ayahku telah merampas harta bendaku.” Rasulullah menjawab: “Dirimu dan harta bendamu adalah milik ayahmu. Anak-anakmu adalah hasil yang paling baik, oleh karenanya makanlah harta benda mereka.”[7]
Selain itu Allah memerintahkan kepada sang anak agar mendoakan kedua orang tua, meminta kepada Allah sebagai tanda balas jasa yang telah mereka lakukan terhadap dirinya.

وقَدْ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صلي الله عليه وسلم فقال: يارسول الله, هل بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أُبِرَّهُمَا بِهِ بعد موتِها؟ قال: نعم, الصلاة عليهما, وَاِنْفَاذِ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهَا, وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِيْ لَا تُوْصَلُ اِلَّا بِهِمَا وَأكرَمُ صَدِيْقِهِمَا.

“Rasulullah pernah ditanya oleh seseorang : “Wahai Rasulullah apakah ada sesuatu jalan yang bisa memungkinkan saya membaktikan diri kepada kedua orang tua sepeninggal mereka?”. Rasulullah menjawab : “Ya masih ada, mendoakan keduanya, melaksanakan janjinya setelah mereka mati, mempererat hubungan silaturrahmi yang telah dirintis oleh keduanya dan menghormati teman-teman keduanya”.[8]

Kata Bisyr Al-Hafi (seorang zuhud/sufi): “Seseorang yang mendekat pada ibunya dan bersedia mendengarkan kata-katanya, maka yang demikian adalah lebih utama dari pada memukulkan pedangnya dalam perang di jalan Allah, sedangkan orang yang melihat ibunya adalah lebih utama dari segala sesuatu. (Ini adalah pendapat Bisyr peribadi).[9]

Di antara bentuk durhaka (uquq) adalah :
1.      Menimbulkan gangguan terhadap orang tua baik berupa perkataan (ucapan) ataupun perbuatan yang membuat orang tua sedih dan sakit hati.
2.      Berkata 'ah' dan tidak memenuhi panggilan orang tua.
3.      Membentak atau menghardik orang tua.
4.      Bakhil, tidak mengurusi orang tuanya bahkan lebih mementingkan yang lain dari pada mengurusi orang tuanya padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan.
5.      Bermuka masam dan cemberut dihadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, 'kolot' dan lain-lain.
6.      Menyebut kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.
7.      Memasukkan kemungkaran kedalam rumah misalnya alat musik, mengisap rokok, dll.
8.      Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua atau lemah. Tetapi jika 'Si Ibu" melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri maka tidak mengapa dan karena itu anak harus berterima kasih.
9.      Mendahulukan taat kepada istri dari pada orang tua. Bahkan ada sebagian orang dengan teganya mengusir ibunya demi menuruti kemauan istrinya. Na'udzubillah.
10.  Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggalnya ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam ini adalah sikap yang amat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.








BAB III
PENUTUP
A.           Simpulan
Orang yang menyia-nyiakan hukum, yang durhaka kepada kedua orang tuanya, yang melupakan apa yang menjadi kewajibannya dan apa yang ada di depannya hendaklah berbuat baik kepada mereka. Itu adalah ketetapan agama, sedangkan kamu telah menerima hukum itu tetapi kamu masih melakukan kejelekan.
Sang ibu telah mengandung kamu dalam perutnya selama sembilan bulan yang seolah-olah seperti sembilan tahun. Wanita tersebut mengalami kesulitan ketika melahirkan kamu dengan perasaan yang tidak enak. Kamu disusui dengan teteknya, dan karena itulah hingga akhirnya ibu itu mengantuk. Dalam beberapa malam dia bangun, karena kamu menangis. Kamu bisa membayagkannya sejak lahir. Kesulitan itu telah menghimpit jantung ibu. Beberapa kali ibu membersihkan kotoran kamu. Itupun dengan tangan kanan.dll.
Tetapi ketika orang tua itu berusia lanjut,maka kamu memberikan hinaan bagi mereka,durhaka kepada mereka. Semuanya itu tidak dibenarkan, Allah dan Rasul telah melarang durhaka kepada orang tua dan itu adalah termasuk dosa-dosa besar.
Jadilah anak yang shaleh-shalehah, yang berbakti kepada orang tua, InsyaAllah Allah akan memberikan surganya untuk kita.
Demikian makalah ini kami buat, Salah dan khilaf itu semua datangnya dari kami, dan yang benar semuanya hanya dari Allah. Wallahua’lam bis-shawaab. Mudah-mudahan bermanfa’at di dunia di akhirat. Aamiin.






DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Fattah,Afif.Dosa-dosa Menurut Al-Qur’an,Gema Risalah Press: Bandung 1993.
Ahmadi Abu,Dosa Dalam Islam.Rineka Cipta : Jakarta 1996.
Abdullah Adz-Dzahabi Abu,Dosa-dosa Besar,Bina Ilmu : Surabaya 1993.
Syafi’I Rachmat,Al-Hadis (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum,Pustaka Setia : Bandung 2000.


[1] Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami dinyatakan bahwa seandainya Allah memandang kata-kata yang lebih dekat pada kata “ah”, pasti Allah akan melarangnya pula.
[2] Lihat Syamsuddin Adz-Dzahaby, 75 Dosa Besar (Penyadur M. Ladzi Safroni), Surabaya: Media Idaman Press), cet II hlm. 68.
[3] Hadits riwayat Bukhari da Muslim.
[4] Drs.H.Abu  Ahmadi.Dosa Dalam islam. Rineka Cipta : Jakarta. 1996
[5] Hadits riwayat Imam Ahmad.
[6] Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
[7] Hadits riwayat Ibnu Majjah.
[8] Hadits riwayat Abu Daud dan ibnu Majjah.
Dr.Afif Abdullah Fattah Tabbarah,Dosa-dosa menurut Al-Qur’an. Gema Risalah Press : Bandung. 1993 hlm 138.
[9] Imam Abu Abdullah Adz-Dzahab.Dosa-dosa Besar. Bina Ilmu Surabaya 1993. Hlm 67.

0 komentar:

 
;