Jumat, 28 Februari 2014

Makalah Pengantar Studi Islam (Islam sebagai objek bidang tasawuf)


BAB I
PENDAHULUAN
A.         Latar Belakang Masalah
        Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoterik dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqh, khususnya pada bab thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriah yang selanjutnya disebut sebagai dimensi eksoterik.
             Melalui studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkannya secara benar. Dari pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang pandai mengendalikan dirinya pada saat ia berinteraksi dengan orang lain, atau pada saat melakukan berbagai aktivitas dunia yang menuntut kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaaan dan sebagainya. Dari suasana yang demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang  mengambil bentuk seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalah gunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan, dan lain sebagainya.
             Demikian pentingnya peranan tasawuf dalam kelangsungan hidup manusia seutuhnya, maka tidak mengherankan apabila tasawuf demikian akrab dengan kehidupan masyarakat islam, setelah masyarakat tersebut membina akidah dan ibadanya, melalui ilmu tauhid dan ilmu fiqh. Dengan demikian terjadilah hubungan tiga serangkai yang amat harmonis yaitu akidah, syariah, dan akhlak.

B.         Rumusan Masalah
      Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
a. Apa pengertian Tasawuf dan islam sebagai kajian bidang Ilmu Tasawuf ?
c. Apa isi pokok-pokok ajaran Tasawuf dan tujuannya ?
b. Apa Sejarah ilmu tasawuf dan Siapa Tokoh yang berperan dalam bidang ilmu    tasawuf ?



 BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
    Sebenarnya kata "tasawuf" belum dikenal pada masa Rasulullah SAW. Pada masa itu hanya dikenal dengan istilah zuhud, wara'  dan beberapa kunci lain dalam tasawuf. Salah seorang sahabat tabi'in yang bernama Abu Hasan Al-Fusyandi yang hidup sezaman dengan Hasan Al-Bashri (w. 110) pernah mengatakan "Hari ini tasawuf hanya sekedar nama, tetapi tidak ada buktinya. Pada zaman Rasulullah SAW., tasawuf ada buktinya, tetapi tidak ada namanya."
            Dari segi kebahasaan terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu :
  1. Al-suffah (ahlu al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari makkah ke madinah,
  2. Saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjama'ah,
  3. Sufi yaitu bersih dan suci,
  4. Sophos  dalam bahasa indonesia artinya hikmah, dan
  5. Suf  berarti kain wol kasar. [1]
Dengan demikian dari segi kebahasaan tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakam panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran, dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah, sikap demikian pada akhirnya membawa seseorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal yang kuat dan efektif terhadapat berbagai godaan hidup yang menyesatkan.
            Bila tasawuf dilihat dari segi istillah dalam kaitan ini terdapat tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf. Yaitu:
1. Sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas.
Tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya menyucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah.
2. Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang.
Tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3. Sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan.
Tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (perasaan percaya kepada Tuhan) yang dapat mengarahkan jiwa agar selalu tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.[2]
               
                 Abu Al-Wafa Al-Ghanimi At-Taftazani mengemukakan hal-hal yang menjadi ciri-ciri tasawuf, diantaranya:
1.      Memiliki nilai-nilai moral.
2.      Pemunahan fana (sirna) dalam realitas mutlak.
3.      Pengatahuan intuitif langsung.
4.      Timbulnya rasa kebahagian sebagai karunia Allah dalam diri sufi karena teracapainya maqamat (tingkatan-tingkatan) yang harus dilaluinya
5.      Penggunaan lambang-lambang pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian atau makna tersurat dan tersirat..
             Secara umum kata Dr. Ibrahim Hilal : Tasawuf itu adalah memilih jalan hidup secara zuhud, menjauhkan diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya. Tasawuf itu adalah bermacam-macam ibadat, wirid dan lapar, berjaga diwaktu malam dengan menbanyakkan sholat dan wirid, sehingga lemahlah unsur jasmani dan rohani dengan jalan yang disebutkan sebagai usaha mencapai hakikat kesempurnaan rohani dan mengenal dzat Tuhan dengan segala kesempurnaan-Nya.
B. Sejarah Tasawuf
1. Landasan dan Motivasi lahirnya Tasawuf
            Tasawuf hadir dalam islam bersamaan dengan kelahiran agama islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad SAW. diutus sebagai Rasulullah untuk segenap umat manusia bahkan seluruh alam semesta.[3] Pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi rasul telah berulang kali melakukan tahannuts dan khalwat di Gua Hira untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota mekah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan, dan untuk membersihkan hati dan menyucikan jiwanya dari noda-noda yang melekat pada masyarakat arab pada saat itu, serta berusaha agar meperoleh petunjuk dan hidayah dari sang Pencipta alam semesta, mencari hakikat kebenaran yang dapat mengatur hidupnya dengan baik dan benar. Dalam situasi seperti inilah Muhammad menerima wahyu dari Allah yang penuh berisi dengan ajaran-ajaran dan norma-norma sebagai pedoman untuk seluruh umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidupnya. Atas dasar itulah para ulama sepakat bahwa sumber yang menjadi landasan dalam tasawuf adalah sikap atau perbuatan Rasulullah, baik sebelum beliau menerima wahyu, maupun sesudah menerima wahyu. Sebab semua tingkah laku, amal perbuatan dan sifat-sifat Rasulullah merupakan manifestasi dari kebersihan hati dan kesucian jiwanya yang sudah dibawanya semenjak kecil.
 Ada dua faktor yang memotivasi seseorang memasuki dunia tasawuf:
            Pertama, faktor intern, yaitu ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits yang mendorong seseorang untuk melaksanakan pola hidup kerohanian dengan mendekatkan diri kepada Allah.
             Kedua, faktor extern atau faktor situasi lingkungan. Dalam kontek ini sekurang-kurangnya ada dua situasi yang mendorong seseorang memasuki dunia tasawuf, yaitu: Pertama, kenikmatan duniawi dan gaya hidup mewah dikalangan para pemangku jabatan setelah Nabi wafat dan setelah pemerintahan Al-Khulafa Ar-Rasyidin terdapat sekelompok orang yang tidak mau turut dalam hidup kemewahan dunia bahkan menjauhkan diri darinya dan lebih memilih serta mempertahankan hidup kesederhanaan. Kedua, sebagai reaksi atas berkecamuknya pertentangan politik pada saat itu, terutama setelah terjadi pembunuhan terhadap Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
2. Rasulullah dan Kehidupan Kerohaniannya
        Tahanuts yang dilakukan Rasulullah di Gua Hira merupakan cahaya pertama dan utama bagi tasawuf atau itulah benih pertama bagi kehidupan rohaniyah yang disebut dengan ilham atau renungan rohaniah.
        Prihidup Muhammad merupakan pola dasar dan gambaran lengkap bagi para sufi dalam pengamalan ajaran tasawuf. Kehadirannya di Gua Hira ber’uzlah dari masyarakat ramai adalah untuk mengkonsentrasikan segenap pikiran dan perasaan dalam merenung alam yang terbentang luas ditempat yang lepas dan bebas, lebih menggugah hatinya untuk merasakan kebesaran dan keagungan Allah SWT.[4]
        Fakta sejarah menunjukkan bahwa sebelum Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, terlebih dahulu Allah SWT telah menempa jiwa dan mendidiknya dengan sebaik-baiknya.[5]
        Kehidupan Rasulullah merupakan suatu pola hidup yang paling ideal yang patut ditiru dalam segenap aspek kehidupan, baik dalam tata cara beribadat, maupun dalam tata cara berpakaian dan sopan santun.



C. Pokok-pokok Ajaran Tasawuf dan Tujuannya
             Kepustakaan tasawuf menyajikan berbagai konsep tentang proses perjalanan menuju makrifat kepada Allah. Diantaranya termuat dalam trilogi konsep yang meliputi: takhalli, tahalli, dan tajalli.
1. Takhalli, arti harfiahnya adalah pengosongan, yaitu suatu usaha mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan duniawi.
2. Tahalli, arti harfiahnya berarti mengisi atau menghias, yaitu usaha menghiasi diri dengan sifat, sikap dan perbuatan yang terpuji dan luhur.
3. Tajalli, arti dasarnya ialah terbuka atau tersingkap, yaitu terbukanya hijab atau dinding sehingga mata hati seseorang mampu menyaksikan kehadiran Tuhan.
Jika seseorang telah melalui dengan sempurna konsep trilogi (takhalli, tahalli, dan tajalli)  tersebut, maka ia akan sampai kepada tingkatan makrifat kepada Allah dan akan merasakan kehadiran-Nya dalam kehidupan.

D. Maqam dan Hal
            Maqam berasal dari bahasa arab, dalam bentuk jamak disebut maqamat yang artinya tempat orang berdiri. Diartikan sebagai jalan atau tangga-tangga yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.
            Para ulama sufi menyepakati bahwa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhannya ialah tujuh. Ketujuh maqam itu adalah at-taubah, az-zuhud, al-wara, al-faqr, ash-shabr, at-tawakkal dan al-ridla.
             Istilah hal, bentuk jamaknya ahwal , dalam penggunaanya identik dengan maqamat. Hal, arti harfiahnya adalah keadaan. Istilah hal ini digunakan dalam tasawuf mengandung maksud sebagai keadaan seseorang dalam menempuh dunia tasawuf seperti perasaan takut, resah, gelisah, senang, bahagia, sedih, dan lain sebagainya.
             Perbedaan antara hal dengan maqamat  antara lain: hal diperoleh atas hasil usaha dan bersifat sementara atau datang dan pergi, sedangkan maqamat merupakan anugerah langsung dan rahmat dari Allah, karema ia diperoleh hasil usaha maka, keberadaanya tergantung kepada usahanya .
E. Tokoh-tokoh Tasawuf
             Pada zaman Rasulullah SAW. Telah ada sahabat-sahabat yang menjauhkan diri dari kehidupan duniawi, banyak beribadah. Diantara mereka ialah Abdullah ibn Umar, Abu Ad-Darda, Abu Dzar Al-Ghiffari, Bahlul Ibn Zuaib, Kahmas Al-Hilali.
             Adapun tokoh-tokoh sufi berikutnya yang masyhur dalam sejarah tasawuf antra lain:
1. Hasan Al-Bashri
Kezuhudan Hasan Bashri berpangkal pada raja' dan khauf  (harap-harap cemas), keduanya tidak boleh berpisah, artinya jangan hanya takut kepada Allah, tetapi hendaklah diikuti dengan harapan. Untuk itu dunia ini laksana jembatan untuk dilewati menuju tempat tujuan akhir, yaitu Allah.
2. Ibrahim ibn Adham
Kezuhudan Ibrahim ibn Adham berpangkal pada pendidikan jiwa dengan pendekatan mensyukuri nikmat. Menurutnya, jika seseorang ingin mencapai derajat saleh, hendaknya menutup enam pintu:
1)      Pintu kenikmatan.
2)      Pintu kehormatan.
3)      Pintu bermalasan.
4)      Pintu kekayaan.
5)      Pintu angan-angan dan cita-cita.

3. Rabi'ah Al-Adawiyah
Hakikat tasawufnya adalah hubbul ilah (mencintai Allah). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka, atau rasa penuh harap akan pahala dan surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu kepada Tuhan untuk menyelami keindahan dan keagungan-Nya.
Masih banyak lagi tokoh-tokoh sufi lainnya yang hidup sesudah zamannya, seperti Abu Nashr Basyr Al-Hafi, Dzun Nun Al-Mishry, Abu yazid Al-Bushtami, Husen ibn Al-Manshur Al-Hallaj, Imam Ghazali.


BAB III
PENUTUP
  1. Simpulan
Dari segi kebahasaan tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakam panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran, dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah, sikap demikian pada akhirnya membawa seseorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal yang kuat dan efektif terhadapat berbagai godaan hidup yang menyesatkan.
Tasawuf dilihat dari segi istillah dalam kaitan ini terdapat tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf. Yaitu:
1.      Sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas.
2.      Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang.
3.      Sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan.
Tasawuf hadir dalam islam bersamaan dengan kelahiran agama islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad SAW. diutus sebagai Rasulullah untuk segenap umat manusia bahkan seluruh alam semesta
Pokok-pokok Ajaran Tasawuf dan Tujuannya ada tiga :
1. Takhalli, arti harfiahnya adalah pengosongan, yaitu suatu usaha mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan duniawi.
2. Tahalli, arti harfiahnya berarti mengisi atau menghias, yaitu usaha menghiasi diri dengan sifat, sikap dan perbuatan yang terpuji dan luhur.
3. Tajalli, arti dasarnya ialah terbuka atau tersingkap, yaitu terbukanya hijab atau dinding sehingga mata hati seseorang mampu menyaksikan kehadiran Tuhan.


DAFTAR PUSTAKA

Yusuf, Ali Anwar, Studi Agama Islam. Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2003. Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta, Pt. Raja Grafindo Persada, 1992, cet. 2.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam. Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2006. Proyek Pembinaan perguruan Tinggi Agama IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera utara, 1981/1982



[1] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. III, hlm. 56-57.
[2] Berbagai definisi tasawuf diatas dirangkum dari sejumlah definisi tasawuf yang dikemukakan para ahli seperti Ma'ruf Al-Karakhy (w. 200 H.), Abu Thurab Al-Nakhsaty (w. 245 H.), Sahl bin Abd Allah Al-Tustary (w. 283 H.).
Lihat Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Sumatera Utara, pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/1982, hlm. 3-4
[3] Proyek Pembinaan perguruan Tinggi Agama IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera utara, 1981/1982. Hlm 35
[4] Ibid., Hlm 44
[5] Ibid., hlm 45
 




0 komentar:

 
;